DAWANGSARI – SAMBIREJO : Bermula dari Ndangsari

04 September 2025
SAMBIREJO
Dibaca 26 Kali
DAWANGSARI – SAMBIREJO : Bermula dari Ndangsari

Padukuhan Dawangsari terletak di wilayah Kapanewon Prambanan, lebih tepatnya Pedukuhan Dawangsari, Kalurahan Sambirejo, Kapanewon Prambanan. Padukuhan Dawangsari yang berada di daerah perbukitan, menyimpan sejuta cerita yang tentu saja menarik untuk dikulik.

Ontran-Ontran Majapahit

Siapa yang tidak mengenal dengan Kerajaan Majapahit? Kerajaan Majapahit merupakan satu kerajaan Nusantara terbesar dan terkuat dalam sejarah. Puncak kejayaan pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389) dengan Mahapatih Gajah Mada yang terkenal dengan Sumpah Palapa.

Ambisi yang begitu besar dari Kerajaan Majapahit, terutama Patih Gajah Mada ingin menguasai nusantara dibawah panji-panji Majapahit, membawa banyak pertumpahan darah diantara kedua belah pihak. Ketenaran dan kejayaan Kerajaan Majapahit yang dibayar dengan darah, pada akhirnya mengalami juga guncangan dari dalam negerinya sendiri.

Raja Hayam Wuruk wafat sekitar tahun 1389. Kerajaan Majapahit menghadapi perebutan tahta pemerintahan dari para penguasa daerah yang sebagian besar merupakan kerabat raja. Majapahit sudah beberapa kali mengalami perang saudara.

Salah satu guncangan yang terjadi di Kerjaan Majapahit yaitu Perang Paregreg. Perang saudara yang terjadi di Majapahit. Perselisihan antara istana barat yang dipimpin oleh Wikramawardhana, melawan istana timur (Blambangan) yang dipimpin oleh Bhre Wirabhumi. Perang ini terjadi tahun 1404 – 1406 dan menjadi salah satu penyebab kemunduran Kerajaan Majapahit.

Pelarian Orang-orang Majapahit

Ada punggawa Majapahit melarikan diri dari Trowulan hingga sampai ke wilayah barat. Para pelarian tersebut sampai di wilayah Prambanan, dan mereka segera menuju perbukitan di selatan Candi Prambanan. Mereka beranggapan wilayah perbukitan pasti aman dari kejaran.

Keadaan perbukitan yang masih sepi alami, jauh dari hiruk pikuk masyarakat menjadi tempat pilihan mereka. Alasan mereka menuju perbukitan tersebut, selain jauh dari aktivitas masyarakat, juga ada tempat pemujaan para Dewa. Dan sebagai penganut Hindu akan merasa aman dan nyaman bila berada di sekitar tempat pemujaan.

Mereka beranggapan tempat pemujaan tidak mungkin sembarangan orang bisa ke sana. Hanya orang tertentu seperti pandhita atau pemimpin suatu upacara pemujaan yang akan dengan bebas memasuki wilayah tersebut.

Setelah mencari lokasi yang tepat untuk bermukim dan bersembunyi. Para pelarian mencoba untuk tinggal di daerah itu. Ternyata tempat tersebut tidak cocok untuk mereka. Keadaan alam yang banyak bebatuan dan kesulitan mencari sumber air, punggawa tersebut memutuskan untuk meninggalkan tempat tersebut. Kemudian turun berbaur menyamar menjadi rakyat biasa.

Mulai Babat Alas

Setelah lama daerah yang ditinggalkan para pelarian dari Majapahit itu, maka daerah tersebut menjadi hutan yang tidak tersentuh manusia. Pada masa pemerintahan HB VII pada tahun 1877-1921, perkembangan industrialisasi meningkat. Seiring era Tanam  Paksa  (Cultuur  Stelsel),  pelaksanaannya dilakukan dengan pemaksaan.

Ada salah seorang demang di wilayah Prambanan, yang lebih dikenal dengan sebutan Demang Diman, mempunyai putra berjumlah tujuh orang. Putra pertama Demang Prambanan mempunyai keinginan untuk mencari lahan tempat bermukim yang baru, Wongso Kariyo namanya.

Karena sistem tanam paksa yang dilakukan saat itu, membuat sepasang pengantin baru Wongso Kariyo dan istri bertekad untuk hidup mandiri. Hidup terpisah dari keluarga besarnya di Gatak Prambanan. Wongso Kariyo dan istrinya yang juga masih mempunyai hubungan kerabat salah satu punggawa kraton pada saat itu, segera pergi ke arah perbukitan di sekitar Prambanan. Sesampainya di tempat yang mereka tuju, Wongso Kariyo melihat bahwa tempat tersebut menarik perhatiannya. ”Simbah Wongso Kariyo itu seorang yang kalau mempunyai keinginan harus tercapai, berkemauan keras juga laku prihatinnya tinggi,” kata Mbah Sumiyem (Marta Sumitro), salah satu buyutnya.

Segera Wongso Kariyo dibantu istrinya mendirikan sebuah gubuk kecil untuk tempat tinggal mereka. Bekal yang mereka bawa lama kelamaan menipis, bahkan air juga habis. Wongso Kariyo bermaksud turun gunung mencari air untuk persediaan minum.

Tanpa sengaja dia melihat hal yang aneh, di sela- sela bebatuan dia menemukan sumber air. Timbul tanda tanya Wongso Kariyo, “Ini bukan gua tetapi ada air yang merembes di sela-sela bebatuan?” Rasa penasaran Wongso Kariyo yang begitu besar, maka dia memotong bebatuan tersebut, dan keluarlah air yang lumayan deras.

Tempat tersebut segera ditata sedemikian rupa, agar air yang mengalir bisa tertampung dalam suatu tempat dibuat belik kecil. Wongso Kariyo segera memberitahu istrinya, untuk mengambil air yang berada tidak jauh dari gubuk mereka.

Ternyata tidak hanya didekat tempat tinggal mereka saja, bahwa di sela-sela bebatuan lain juga ada rembesan airnya. Jarak sekitar 500 meter dari gubug mereka juga ada beberapa mata air bebatuan. Wongso Kariyo menamakan Sendang Watu Kelir dan juga Belik Sumberwatu.

Di musim kemarau tempat ditemukannya rembesan air itu tetap mengalirkan air. Sehingga di sekitar tempat itu tampak tumbuhan hijau, padahal di tempat  lain  disekitarnya  gersang.  “Menawa  ana rejaning jaman panggonan iki tak wenehi tetenger Ndangsari utawa Sendangsari,!” kata Wongso Kariyo disaksikan istrinya. (Suatu saat bila tempat ini makmur, tempat ini saya beri nama Ndangsari atau Sendangsari)

Kerabat Mulai Berdatangan

Setelah sekian purnama Wongso Kariyo dan istrinya bermukim di situ, ada beberapa kerabatnya berkunjung. Para kerabat yang berkunjung ke tempat Wongso Kariyo merasa heran dan bertanya-tanya, mengapa tempat yang tinggi dan tandus masih banyak bebatuan bisa ditemukan air?

Kemudian para kerabat yang berkunjung berinisiatif untuk membuka lahan baru atau istilahnya babat alas. Mereka berpencar mencari tempat baru, yang sekiranya bisa dijadikan tempat tinggal.

Mereka menemukan tempat yang di anggap sudah sesuai untuk di jadikan tempat tinggal. Dan menamai lokasi tersebut. Ada tempat yang dinamai Pathuk,  bila  berada  di  tempat  tersebut  mereka merasa  nyaman  dan  “manthuk-manthuk”.  Atau istilahnya  mengangguk  anggukan  kepala  karena sudah cocok dengan tempat tersebut.

Ada juga yang tempat yang diberi nama Klatakan karena tempat tersebut memang banyak bebatuan atau istilah jawa ngglathak. Seseorang yang bernama Joyo Pawiro diyakini menjadi salah satu keturunan dari punggawa Majapahit. Ia juga menemukan tempat, dan memberi nama tempat tersebut Ngewot. Mengapa dinamai Ngewot? Karena bila akan menuju lokasi tersebut harus meniti sebuah jembatan yang terbuat dari susunan bambu yang ditata di atas bebatuan.

Kerabat lain yang bernama Marto Mas menemukan emas disekitar Candi Barong. Dan bermukim di sekitar Barong atau Candisari. Ada juga tempat yang mereka namai Ngembong.

Mitos di Ngewot

Ada salah satu tempat yang mereka tinggali yaitu Ngewot. Masyarakat di sana percaya adanya sumur yang mereka anggap keramat. Sumur Gombak Kuncung namanya, sumur tersebut sampai sekarang masih dipercaya masyarakat sekitar sebagai sumur bertuah.

Ada pantangan untuk masyarakat Ngewot, tidak boleh memberikan nama anaknya sama dengan penunggu sumur tersebut. Bila hal tersebut nekat dilakukan anak tersebut pasti kerasukan penunggu sumur tersebut.

Ada kepercayaan, bahwa anak kecil di Ngewot tidak boleh potong model kuncung. Nama Surono juga tidak boleh diberikan untuk orang-orang yang bermukim di Ngewot, orang tersebut akan meninggal bila tidak segera diganti namanya.

Bila masyarakat sana mempuyai hajat, mereka diharuskan membuat sesajen dan dibawa ke sumur tersebut. Ada orang yang akan menjadi perantara dalam mempersembahkan sesajen tersebut.

Penamaan Padukuhan

Beberapa di wilayah tersebut antara lain Ndangsari, Pathuk, Klathaan, Ngewot, Ngembong yang merupakan satu kawasan, kemungkinan dulu dipimpin oleh seorang Penglawe.

Sekitar tahun 1967 berubah menjadi Dawangsari. Nama Dawangsari bisa mempunyai arti tempat spiritual, mistik, kepercayaan pada hal-hal gaib. Suatu hal yang masuk akal bila penamaan Dawangsari juga mengacu pada tempat tinggi dan menjadi tempat pemujaan masyarakat Hindu pada waktu itu.

Salah satu perangkat kalurahan yang memprakarsai penggabungan beberapa tempat tersebut waktu itu menjabat sebagai sebagai Kamituwo. Dan sekarang menjadi sebuah padukuhan, Kepala Padukuhan Dawangsari saat ini dipimpin oleh Bapak Jumiran.

Seiring berjalannya waktu, perkembangan di Padukuhan Dawangsari mengalami kemajuan yang signifikan. Secara perekonomian sudah meningkat taraf hidupnya. Sebagian besar penduduk Dawangsari bekerja sebagai buruh tani, ada juga sebagai ASN, pegawai swasta, seniman, wiraswasta, dan perdagangan.

Padukuhan Dawangsari ada objek wisata yang sering didatangi para penikmat suasana alam, diantaranya Spot Riyadi. Ada juga hotel yang megah didirikan disana. Untuk akses jalan ke Padukuhan Dawangsari juga sudah bagus.

Wilayah Padukuhan Dawangsari terdapat peninggalan bersejarah, Candi Dawangsari, Candi Barong, Candi Miri. Luas wilayah Padukuhan Dawangsari sekitar 130 hektar, dengan jumlah penduduk kurang lebih 460 jiwa.

“Batas wilayah Padukuhan Dawangsari, sisi barat berbatasan dengan Padukuhan Sumberwatu. Sisi timur berbatasan dengan Padukuhan Kikis, sisi selatan berbatasan dengan Padukuhan Gunungsari. Dan sebelah utara berbatasan langsung dengan Provinsi Klaten Jawa Tengah” kata Pak Dukuh Jumiran menutup wawancara.

Penulis        : Erlina Yuliastuti
Tenaga Ahli : Budi Sardjono